Karya : Dwi Rakhmawati
Hidup seorang diri dengan kesibukan yang kian menjulang tinggi, membuatku bertahan hidup tanpa belaian Orang Tua, dan bahkan Aku tidak merindukan Mereka karena kesibukanku melalaikan segalanya. Hingga mungkin Aku bukanlah cahaya harapan yang mereka impikan selamaini.
Pagi setelah subuh, Aku harus bersiap-siap menuju kantor dimana tempatku bekerja. Jarak dari apartemenku kekantor cukup dekat, Namun karena tinggal di kota tidak menutup kemungkinan macet, sehingga Aku lebih cepat berangkatnya.
Aku tinggal sendiri di apartemen, rumah orang tuaku jauh di kampung. Sepertinya sudah lima tahun Aku tidak pulang, karena banyaknya kerjaan. Tapi setiap bulan, aku selalu kirim uang untuk ibu dan ayahku. Yang mungkin lebih dari cukup, tidak ada waktuku untuk telpon bertanya kabar di kampung, terlebih untuk bisa berkumpul bersama.
Tepat pukul 06.00 aku keluar dari apartemen, dengan kemeja merah, jas warna hitam mulus, dengan rok mini warna hitam membuat langkahku semakin yakin, dan berani untuk menghadapi kesibukan hari ini. Dan kulihat mobil merahku sudah terparkir di depan pintu, sopir pun sudah siap dengan tugasnya.
“Agak cepat sedikit ya mang..! Ada rapat jam 7 tepat,” pintuku dengan pak supir.
“Iya non,” jawabnya santun.
Di mobil aku menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan nanti, mungkin saja ada yang tertinggal. Tapi bukan itu harapannya. Setelah saya cek, semuanya lengkap dan tidak ada yang tertinggal. Aku tersenyum dan melihat jalan ibu kota yang begitu padat dari kaca jendela mobil.
Aku perhatikan manusia, mobil, sepeda motor, pejalan kaki semuanya sangat bersemangat pagi itu. Aku melihat pengemis-pengemis di jalanan tidak seperti biasa, pengemis wanita selalu membawa bunga, walau cukup layu, tapi mereka membawanya dengan penuh hati-hati.
Aku berpikir, sebenarnya ada apa dengan pengemis-pengemis itu,
“Mang, itu banyak pengemis wanita bawa bunga-bunga gitu, untuk apa yah kiranya?”, tanyaku penasaran.
“Oh mungkin karena ini tanggal 22 Desember non”, jawab pak supir sembari tersenyum.
“Oh, memangnya ada apa dengan tanggal 22 Desember?” tanyaku semakin bingung.
“Si Non tidak tahu, atau lupa?”, Tanya pak supir menatapku heran.
Aku semakin tidak mengerti dengan itu, kemudian lima menit aku terdiam, mencoba melupakan hal tadi. Namun pak supir bertanya,
“Non tidak pulang kerumah? Pasti kedua Orang tua sangat rindu?”, Tanya Pak Supir yang selama 6 tahun mendampingi.
Aku tatap wajah Pak Supir, dan Aku merasa apa yang Diakatakan benar. Namun seakan-akan Syetan membutakanku, dan menghadirkan bayangan-bayangan kerjaan dan kenikmatan dunia yang hanya sesaat.
“Sudahlah Mang, suatu saat aku pulang nanti.” Jawabku sembari menunduk.
“Apa Non tidak kasihan sama Ibudan Ayah? Mereka sangat merindukan Non pastinya, sekali-kali lah telpon Mereka!”, pinta Pak Supir dengan halus dengan mata berkaca-kaca.
“Sudahlah Mang, tidak usah ikut campur”, kataku dengan nada lebih keras.
Seakan wajahku memerah menahan emosi yang ada. Pak Supir hanya terdiam, dan kembali fokus mengendarai mobil.
“Non, boleh saya katakan sesuatu?”, pinta Pak Supir.
“Silahkan saja!”, jawabku jutek.
Namun sepertinya sudah tidak memungkinkan lagi, karena sudah sampai kantor. Dan aku begitu saja keluar dari mobil dan masuk ke kantor dengan buru-buru. Terlihat Pak Supir hanya menghela nafas, sepertinya ada hal penting yang ingin diakatakan, tapi Aku cuek saja.
“Selamat pagi Bu Raima”, sapa salah satu Pegawai.
“Selamat pagi”
Sesampainya di ruanganku, Aku langsung bergegas ke ruang rapat, dan memulai rapat dengan para Direktur dari perusahaan lain. Rapat dua jam begitu lamanya, mengenai terobosan dalam bisnis yang akan segera dijalankan.
Keluar dari ruang rapat, Aku langsung menyelesaikan tugas di ruanganku, sepertinya sudah banyak menumpuk disana. Karena sudah terlalu lelah, dan piker pun tidak bisa dipaksakan Aku langsung pulang ke rumah.
“Mang, tolong siapkan mobil, Aku pulang cepat!”, pintaku dalam telpon
“Iya Non,” jawabnya patuh.
Lima menit kemudian, Aku keluar kantor dengan mata merah, kepala pusing, dan dengan rambut yang berantakan.
“Mari Non”, kata Pak Supir sembari membukakan pintu mobil.
Aku langsung masuk saja, diperjalanan menuju rumah. Pak Supir berhenti.
“kenapa mobilnya berhenti disini Mang?”, tanyaku.
“Non, tidak ingin membeli bunga untuk ibu?”, kata Pak Supir sembari menatapku.
“Bunga? Untuk Ibu? Ada apa dengan ibu?”, tanyaku heran.
“Hari ini, Hari Ibu Non, apa Non tidak sama sekali ingin memberikan hadiah untuk beliau di Hari Ibu ini?”
“setiap bulan saya kirim uang, itu sudah lebih dari cukup, sepertinya tidak usah, ayo jalan”
Namun Pak Supir tidak mau menjalankan mobilnya, dan masih berharap aku untuk membeli hadiah untuk diberikan ke Ibu.
“Mang, sudah sana turun dan beli bunga, suruh mereka untuk mengantarkan kerumah!”, pintaku dengan nada keras
“Tidak Non saja yang mengantarnya?”Tanya Pak Supir.
Aku diam, dan mengalihkan pandangan, beberapa menit kemudian Pak Supir keluar mobil, dan masuk ke toko bunga untuk membeli bunga untuk Ibuku.
“Silahkan Pak, mau bunga yang mana?”, tanya salah seorang pegawai
“Pilihkan saja mbak, yang pantas untuk Hari Ibu ini, nanti tolong kirimkan ke alamat ini”, sembari memberikan kertas berisikan alamat dan uang pembayaran.
Setelah itu Pak Supir langsung masuk ke mobil, dan terlihat ada Anak di depan mobilku, menangis sembari menatap bunga yang dibawa Pak Supirku. Diameraung-raung, aku takut Diakenapa-kenapa, Aku dekati Dia.
“Kenapa dek?” tanyaku sembari membelai rambut panjangnya.
“Kakak cantik, boleh nggak minta bunganya, satu saja”, pinta adek kecil dengan menangis.
Melihat wajahnya memerah, aku kasihan melihatnya dan aku tanya
“Bunganya untuk apa dek?”tanyaku
“Untuk kuberikan ke Ibuku kak, ini kan Hari Ibu. Dari tadi aku minta bunga ngga boleh, karena aku ngga punya uang kak. Ada Cuma segini”, sembari menunjukkan uang lima ratus rupiah
Adek kecil yang kiranya umur 4 tahun itu sepertinya membutuhkan bunga itu, dan aku meminta Pak supir membelikan bunga lagi untuk adek kecil ini. Setelah itu serasa senang sekali melihat wajah adek itu, senyuman diwajahnya begitu mekar. Padahal hanya bunga,
“Kakak, terimakasih yah bunganya, ini akan aku berikan ke Ibuku kak, Ibuku cantik, baik, saying banget sama Ibu.”kata adek sembari mencium bunga itu.
“Adek rumahnya mana?”, tanyaku
“Rumahku dimana-mana kak, rumahku banyak”, jawab adek kecil dengan lugu.
Sepertinya sekarang aku semakin kalut dengan keadaan adek kecil itu, dan sepertinya dia orang tidak punya. Dilihat dari pakaian yang kusam, badan yang kusam, rambut panjang yang tidak terawat.
“Ya sudah, kakak pulang dulu yah!”
Aku langsung masuk mobil dan tidak terasa air mataku keluar, melihat anak kecil itu. Bukan karna wajah memelasnya, tapi karena pengorbanan mencari bunga, dengan mencoba membelikan bunga untuk Ibunya, di hari ibu ini. Sedangkan Aku?
Namun Aku tidak berpikir terlalu lama, lagian Aku juga sudah kirim bunga untuk Ibu. Kemudian, tiba-tiba adek kecil tadi menangis melihatku, dia sepertinya menginginkan sesuatu lagi.
Dia mengetok jendela mobil,
“kakak, bisa antar aku ke Ibu?”
“Ibu kamu di mana dek, memangnya jauh?”,tanyaku.
“Iya jauh kak, tadi aja aku kesini ikut truk sayuran”, jawabnya lugu
“ya sudah, sini masuk. Kakak antar ke ibu kamu yah”.
Diperjalanan kami saling berbincang-bincang, sepertinya hatiku mulai ramai. Karena memiliki teman walau itu hanya anak kecil. Sepuluh menit kemudian sampai,
“Kakak, ayoturun!”ajak adek itu.
Aku masih terheran-heran, kenapa turunnya disini.Aku keluar dari mobil dan mengikuti langkah adek kecil. Aku semakin heran, karena langkahku semakin mendekati suatu tempat yang tidak semestinya dijadikan rumah.
“kakak, ini rumah Ibu”, kata adek kecil sembari menunjuk makam.
Aku terasa hancur sudah melihat ini semuanya, rasa haru rasa sedih yang begitu menyayatku.
“Ibu, aku datang di hari ibu ini, ini ada bunga. Ibu, bunganya dibelikan sama kakak ini, kakak ini baik sekali bu. Ibu aku sayang ibu”, kata adek sembari memeluk makam ibunya.
Pemandangan itu semakin membuatku hancur. Sepertinya aku tidak ada apa-apanya untuk kedua orang tuaku, terlebih Ibuku. Aku bertanya-tanya, kenapa aku tidak sedikit pun berbakti dengan mencoba bertanya kabar ibu. Aku hanya bisa menangis. Pak supir pun ikut menangis,
“Mang, nanti kita kerumah ibu yah”, pintaku sembari mengusap air mata
“iya Non”, jawabnya bangga.
Seakan kejadian itu membuat mataku terbuka, terlebih hatiku.Bagaimana seorang ibu mencintai dan menyayangi kita tiada batasnya. Dan semua yang kita lakukan, paling tidak membuat mereka bahagia, dan tidak kesepian.
Hidup seorang diri dengan kesibukan yang kian menjulang tinggi, membuatku bertahan hidup tanpa belaian Orang Tua, dan bahkan Aku tidak merindukan Mereka karena kesibukanku melalaikan segalanya. Hingga mungkin Aku bukanlah cahaya harapan yang mereka impikan selamaini.
Pagi setelah subuh, Aku harus bersiap-siap menuju kantor dimana tempatku bekerja. Jarak dari apartemenku kekantor cukup dekat, Namun karena tinggal di kota tidak menutup kemungkinan macet, sehingga Aku lebih cepat berangkatnya.
Aku tinggal sendiri di apartemen, rumah orang tuaku jauh di kampung. Sepertinya sudah lima tahun Aku tidak pulang, karena banyaknya kerjaan. Tapi setiap bulan, aku selalu kirim uang untuk ibu dan ayahku. Yang mungkin lebih dari cukup, tidak ada waktuku untuk telpon bertanya kabar di kampung, terlebih untuk bisa berkumpul bersama.
Tepat pukul 06.00 aku keluar dari apartemen, dengan kemeja merah, jas warna hitam mulus, dengan rok mini warna hitam membuat langkahku semakin yakin, dan berani untuk menghadapi kesibukan hari ini. Dan kulihat mobil merahku sudah terparkir di depan pintu, sopir pun sudah siap dengan tugasnya.
“Agak cepat sedikit ya mang..! Ada rapat jam 7 tepat,” pintuku dengan pak supir.
“Iya non,” jawabnya santun.
Di mobil aku menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan nanti, mungkin saja ada yang tertinggal. Tapi bukan itu harapannya. Setelah saya cek, semuanya lengkap dan tidak ada yang tertinggal. Aku tersenyum dan melihat jalan ibu kota yang begitu padat dari kaca jendela mobil.
Aku perhatikan manusia, mobil, sepeda motor, pejalan kaki semuanya sangat bersemangat pagi itu. Aku melihat pengemis-pengemis di jalanan tidak seperti biasa, pengemis wanita selalu membawa bunga, walau cukup layu, tapi mereka membawanya dengan penuh hati-hati.
Aku berpikir, sebenarnya ada apa dengan pengemis-pengemis itu,
“Mang, itu banyak pengemis wanita bawa bunga-bunga gitu, untuk apa yah kiranya?”, tanyaku penasaran.
“Oh mungkin karena ini tanggal 22 Desember non”, jawab pak supir sembari tersenyum.
“Oh, memangnya ada apa dengan tanggal 22 Desember?” tanyaku semakin bingung.
“Si Non tidak tahu, atau lupa?”, Tanya pak supir menatapku heran.
Aku semakin tidak mengerti dengan itu, kemudian lima menit aku terdiam, mencoba melupakan hal tadi. Namun pak supir bertanya,
“Non tidak pulang kerumah? Pasti kedua Orang tua sangat rindu?”, Tanya Pak Supir yang selama 6 tahun mendampingi.
Aku tatap wajah Pak Supir, dan Aku merasa apa yang Diakatakan benar. Namun seakan-akan Syetan membutakanku, dan menghadirkan bayangan-bayangan kerjaan dan kenikmatan dunia yang hanya sesaat.
“Sudahlah Mang, suatu saat aku pulang nanti.” Jawabku sembari menunduk.
“Apa Non tidak kasihan sama Ibudan Ayah? Mereka sangat merindukan Non pastinya, sekali-kali lah telpon Mereka!”, pinta Pak Supir dengan halus dengan mata berkaca-kaca.
“Sudahlah Mang, tidak usah ikut campur”, kataku dengan nada lebih keras.
Seakan wajahku memerah menahan emosi yang ada. Pak Supir hanya terdiam, dan kembali fokus mengendarai mobil.
“Non, boleh saya katakan sesuatu?”, pinta Pak Supir.
“Silahkan saja!”, jawabku jutek.
Namun sepertinya sudah tidak memungkinkan lagi, karena sudah sampai kantor. Dan aku begitu saja keluar dari mobil dan masuk ke kantor dengan buru-buru. Terlihat Pak Supir hanya menghela nafas, sepertinya ada hal penting yang ingin diakatakan, tapi Aku cuek saja.
“Selamat pagi Bu Raima”, sapa salah satu Pegawai.
“Selamat pagi”
Sesampainya di ruanganku, Aku langsung bergegas ke ruang rapat, dan memulai rapat dengan para Direktur dari perusahaan lain. Rapat dua jam begitu lamanya, mengenai terobosan dalam bisnis yang akan segera dijalankan.
Keluar dari ruang rapat, Aku langsung menyelesaikan tugas di ruanganku, sepertinya sudah banyak menumpuk disana. Karena sudah terlalu lelah, dan piker pun tidak bisa dipaksakan Aku langsung pulang ke rumah.
“Mang, tolong siapkan mobil, Aku pulang cepat!”, pintaku dalam telpon
“Iya Non,” jawabnya patuh.
Lima menit kemudian, Aku keluar kantor dengan mata merah, kepala pusing, dan dengan rambut yang berantakan.
“Mari Non”, kata Pak Supir sembari membukakan pintu mobil.
Aku langsung masuk saja, diperjalanan menuju rumah. Pak Supir berhenti.
“kenapa mobilnya berhenti disini Mang?”, tanyaku.
“Non, tidak ingin membeli bunga untuk ibu?”, kata Pak Supir sembari menatapku.
“Bunga? Untuk Ibu? Ada apa dengan ibu?”, tanyaku heran.
“Hari ini, Hari Ibu Non, apa Non tidak sama sekali ingin memberikan hadiah untuk beliau di Hari Ibu ini?”
“setiap bulan saya kirim uang, itu sudah lebih dari cukup, sepertinya tidak usah, ayo jalan”
Namun Pak Supir tidak mau menjalankan mobilnya, dan masih berharap aku untuk membeli hadiah untuk diberikan ke Ibu.
“Mang, sudah sana turun dan beli bunga, suruh mereka untuk mengantarkan kerumah!”, pintaku dengan nada keras
“Tidak Non saja yang mengantarnya?”Tanya Pak Supir.
Aku diam, dan mengalihkan pandangan, beberapa menit kemudian Pak Supir keluar mobil, dan masuk ke toko bunga untuk membeli bunga untuk Ibuku.
“Silahkan Pak, mau bunga yang mana?”, tanya salah seorang pegawai
“Pilihkan saja mbak, yang pantas untuk Hari Ibu ini, nanti tolong kirimkan ke alamat ini”, sembari memberikan kertas berisikan alamat dan uang pembayaran.
Setelah itu Pak Supir langsung masuk ke mobil, dan terlihat ada Anak di depan mobilku, menangis sembari menatap bunga yang dibawa Pak Supirku. Diameraung-raung, aku takut Diakenapa-kenapa, Aku dekati Dia.
“Kenapa dek?” tanyaku sembari membelai rambut panjangnya.
“Kakak cantik, boleh nggak minta bunganya, satu saja”, pinta adek kecil dengan menangis.
Melihat wajahnya memerah, aku kasihan melihatnya dan aku tanya
“Bunganya untuk apa dek?”tanyaku
“Untuk kuberikan ke Ibuku kak, ini kan Hari Ibu. Dari tadi aku minta bunga ngga boleh, karena aku ngga punya uang kak. Ada Cuma segini”, sembari menunjukkan uang lima ratus rupiah
Adek kecil yang kiranya umur 4 tahun itu sepertinya membutuhkan bunga itu, dan aku meminta Pak supir membelikan bunga lagi untuk adek kecil ini. Setelah itu serasa senang sekali melihat wajah adek itu, senyuman diwajahnya begitu mekar. Padahal hanya bunga,
“Kakak, terimakasih yah bunganya, ini akan aku berikan ke Ibuku kak, Ibuku cantik, baik, saying banget sama Ibu.”kata adek sembari mencium bunga itu.
“Adek rumahnya mana?”, tanyaku
“Rumahku dimana-mana kak, rumahku banyak”, jawab adek kecil dengan lugu.
Sepertinya sekarang aku semakin kalut dengan keadaan adek kecil itu, dan sepertinya dia orang tidak punya. Dilihat dari pakaian yang kusam, badan yang kusam, rambut panjang yang tidak terawat.
“Ya sudah, kakak pulang dulu yah!”
Aku langsung masuk mobil dan tidak terasa air mataku keluar, melihat anak kecil itu. Bukan karna wajah memelasnya, tapi karena pengorbanan mencari bunga, dengan mencoba membelikan bunga untuk Ibunya, di hari ibu ini. Sedangkan Aku?
Namun Aku tidak berpikir terlalu lama, lagian Aku juga sudah kirim bunga untuk Ibu. Kemudian, tiba-tiba adek kecil tadi menangis melihatku, dia sepertinya menginginkan sesuatu lagi.
Dia mengetok jendela mobil,
“kakak, bisa antar aku ke Ibu?”
“Ibu kamu di mana dek, memangnya jauh?”,tanyaku.
“Iya jauh kak, tadi aja aku kesini ikut truk sayuran”, jawabnya lugu
“ya sudah, sini masuk. Kakak antar ke ibu kamu yah”.
Diperjalanan kami saling berbincang-bincang, sepertinya hatiku mulai ramai. Karena memiliki teman walau itu hanya anak kecil. Sepuluh menit kemudian sampai,
“Kakak, ayoturun!”ajak adek itu.
Aku masih terheran-heran, kenapa turunnya disini.Aku keluar dari mobil dan mengikuti langkah adek kecil. Aku semakin heran, karena langkahku semakin mendekati suatu tempat yang tidak semestinya dijadikan rumah.
“kakak, ini rumah Ibu”, kata adek kecil sembari menunjuk makam.
Aku terasa hancur sudah melihat ini semuanya, rasa haru rasa sedih yang begitu menyayatku.
“Ibu, aku datang di hari ibu ini, ini ada bunga. Ibu, bunganya dibelikan sama kakak ini, kakak ini baik sekali bu. Ibu aku sayang ibu”, kata adek sembari memeluk makam ibunya.
Pemandangan itu semakin membuatku hancur. Sepertinya aku tidak ada apa-apanya untuk kedua orang tuaku, terlebih Ibuku. Aku bertanya-tanya, kenapa aku tidak sedikit pun berbakti dengan mencoba bertanya kabar ibu. Aku hanya bisa menangis. Pak supir pun ikut menangis,
“Mang, nanti kita kerumah ibu yah”, pintaku sembari mengusap air mata
“iya Non”, jawabnya bangga.
Seakan kejadian itu membuat mataku terbuka, terlebih hatiku.Bagaimana seorang ibu mencintai dan menyayangi kita tiada batasnya. Dan semua yang kita lakukan, paling tidak membuat mereka bahagia, dan tidak kesepian.